GfC6TUrlBUG0BSY0Tpr6BSM0Gd==

Di Dapur yang Menyatukan, Bangsa Ini Belajar Kembali tentang Kemanusiaan

Dibaca 0 kali

 



Di Dapur yang Menyatukan, Bangsa Ini Belajar Kembali tentang Kemanusiaan


Indonesia seperti tak pernah benar-benar berpisah dari bencana. Air bah datang silih berganti, tanah bergerak tanpa aba-aba, angin dan api kadang menjelma petaka. Namun di antara semua itu, selalu tersisa satu hal yang tak pernah sepenuhnya runtuh: rasa kemanusiaan. Ia mungkin terguncang, tetapi tidak hancur.




Banjir bandang yang melanda Sibuluan Indah, Tapanuli Tengah, adalah satu dari sekian banyak ujian itu. Air mengalir dengan daya rusak yang nyaris tak memberi ruang bertahan. Rumah-rumah terendam, perabot hanyut, dan keheningan yang tertinggal menyimpan luka yang dalam. Dalam sekejap, kenyamanan runtuh, dan dapur-dapur keluarga kehilangan nyalanya.


Namun dari puing-puing itulah, sebuah ikhtiar kecil tumbuh dengan daya yang besar. Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan (JPKP) hadir dengan langkah yang bersahaja, menyalurkan bahan-bahan dapur agar dapur umum swadaya tetap menyala. Bukan sebagai penentu arah, melainkan sebagai sesama yang turut menguatkan. Dari bahan-bahan itu, warga sendiri yang mengolah, mengatur jadwal, dan menjaga denyut dapur kebersamaan tetap hidup.


Dalam kesenyapan kerja kolektif itu, sosok Ketua DPW JPKP Sumatera Utara, Rudy Chairuriza Tanjung, berdiri dalam posisi yang tidak meninggi. Kehadirannya mencerminkan satu sikap: bahwa dalam kerja kemanusiaan, yang utama bukanlah siapa yang paling tampak, melainkan siapa yang mau tetap setia di tengah keterbatasan. Dalam prosesnya, ikhtiar di lapangan ini terus terhubung melalui koordinasi yang hangat dengan Ketua Umum JPKP, Maret Samuel Sueken, sebagai bentuk tanggung jawab dan kesatuan gerak.


Di balik kerja yang terlihat sederhana itu, berlangsung pula perbincangan-perbincangan sunyi bersama para relawan. Ada evaluasi yang dilakukan tanpa suara tinggi, ada penyempurnaan langkah yang lahir dari kerendahan hati. Semua itu dijalani bukan untuk mengejar pencapaian, tetapi untuk memastikan bantuan benar-benar sampai dan tetap bermartabat.


Para penyintas tidak semata menjadi penerima bantuan. Mereka menjelma menjadi subjek yang aktif memulihkan diri. Para ibu bergantian memasak, para bapak membantu mengangkat air dan peralatan, para pemuda mengatur pembagian. Sekitar dua ratus jiwa setiap hari menikmati hasil kerja kolektif itu — makanan yang mungkin sederhana, namun mengandung daya hidup yang besar.


Di luar warga, hadir pula kepedulian dari Perhimpunan Tionghoa Indonesia, dukungan dari Smart Energi.SG, serta perhatian dari Komjen Singapura di Medan. Mereka datang dalam kesenyapan yang sama: tanpa mengusung identitas, tanpa menuntut pengakuan. Di hadapan penderitaan, semua kembali setara sebagai manusia.


Dapur itu perlahan menjelma ruang yang lebih luas dari sekadar tempat memasak. Ia menjadi tempat perjumpaan duka dan harapan. Di sana, beban dibagi, air mata diredam, dan keberanian dirawat kembali. Di sela kepulan asap, tumbuh kembali keyakinan bahwa hidup tidak berhenti di hari bencana.


Apa yang terjadi di Sibuluan Indah adalah cermin kecil bagi wajah Indonesia hari ini. Bahwa kemanusiaan tidak selalu lahir dari kebijakan besar dan pidato panjang. Ia kerap tumbuh dari kerja senyap, dari tangan-tangan yang bergerak tanpa sorotan, dari dapur kecil yang menyala dalam situasi paling genting.


Ketika negara bergerak dengan kebijakan, dan lembaga bergerak dengan program, rakyat bergerak dengan hati. Ketiganya tidak saling meniadakan, justru saling menyempurnakan. Di sanalah fondasi kebangsaan sesungguhnya diuji dan diteguhkan.


Hari ini, mungkin lumpur masih menempel di dinding rumah-rumah Sibuluan Indah. Mungkin luka belum sepenuhnya pulih. Tetapi selama dapur itu tetap menyala, selama warga masih saling menyapa dan berbagi beban, harapan tidak pernah benar-benar padam.


Dan bagi kita yang membaca dari kejauhan, kisah ini adalah pengingat sunyi namun tegas: bahwa di tengah dunia yang kerap riuh oleh kepentingan, kemanusiaan selalu menemukan jalannya sendiri — melalui kerja yang rendah hati dan kepedulian yang tulus.

0Komentar

© Copyright - YOUTHMA ALL QAUSHA ARUAN
Berhasil Ditambahkan

Type above and press Enter to search.