“Kami Tak Pernah Merusak, Tapi Kamilah yang Kalian Hancurkan”, Jeritan Sunyi Trenggiling yang Dikhianati
Trenggiling tidak pernah mengganggu manusia. Ia tak merusak ladang, tak menyerang ternak, apalagi merusak hutan. Ia hanya menjalani perannya sebagai pengendali alami serangga perusak tanah _ semut dan rayap _ dalam senyap dan setia. Namun justru karena diam itulah, manusia merasa bebas memperdagangkannya. Memburunya. Membunuhnya.
Trenggiling kepada alam adalah penjaga keheningan yang tak tergantikan. Tapi kepada manusia, ia dianggap tak lebih dari sisik dan daging bernilai. Ia diburu bukan karena bahaya, melainkan karena mitos. Di balik topeng budaya dan pasar gelap, trenggiling dihancurkan dengan penuh kesadaran, tanpa belas kasih.
Kerugian ekologisnya tak terlihat
namun perlahan terasa. Saat trenggiling menghilang, rayap dan semut mengambil alih, merusak pondasi tanah, mempercepat degradasi lahan, dan mengganggu pertanian. Hutan kehilangan satu dari sedikit penjaga alaminya, dan kita hanya diam.
Tapi jangan salah
kerugiannya bukan cuma pada alam.
Negara pun menanggung akibat. Reputasi Indonesia sebagai rumah keanekaragaman hayati terguncang. Perdagangan ilegal trenggiling menjamur, mempermalukan penegak hukum, membongkar wajah korupsi konservasi. Dunia melihat, dan yang terlihat bukan kekayaan alam kita, melainkan kegagalan menjaganya. Potensi wisata alam runtuh, citra bangsa tercoreng, dan ekonomi lestari yang seharusnya tumbuh justru hancur oleh kerakusan.
Kita mencetak slogan “Indonesia Hijau”, “Bangga Menjaga Alam”, tapi membiarkan darah satwa langka mengalir di lorong gelap pasar ilegal. Kita membiarkan sunyi dibungkam oleh keserakahan.
Jika trenggiling bisa bicara, ia tak akan berteriak. Ia hanya akan menatap dan berkata:
“Kami tak pernah merusak… tapi kamilah yang kalian hancurkan"
Dan mungkin, itu cukup untuk membuat alam menyimpan dendam yang tak berbunyi, sampai suatu hari ia menagih semuanya kembali.
0Komentar