GfC6TUrlBUG0BSY0Tpr6BSM0Gd==

Kebijakan Tutup, Tanya Gusur

Dibaca 0 kali




 

Jalan Terlantar, Warung Digusur, Cabai Ditabur: Ironi Pembangunan di Kisaran


Pembangunan selalu datang dengan wajah ganda: satu tersenyum dalam baliho, satu lagi berkerut di wajah rakyat kecil. Di Kisaran, wajah itu kian jelas: tembok yang menutup akses, edaran cabai yang tak disertai modal, warung-warung kecil yang dibongkar, dan jalan-jalan yang tetap berlubang menunggu belas kasihan. Semua ini menimbulkan pertanyaan yang bukan sekadar gugatan, tetapi teriakan akal sehat: apakah pembangunan masih tentang rakyat, atau hanya panggung etalase proyek?


Tentang tembok gang Setia yang mendadak diprivatisasi oleh sebuah yayasan — apakah ruang publik kini boleh dipersempit hanya dengan alasan kepemilikan? Bukankah gang itu denyut nadi pergerakan warga, jalur hidup sehari-hari yang tak bisa dibarter dengan papan nama? Tembok itu bukan sekadar beton, melainkan simbol: antara publik yang terpinggirkan dan otoritas yang terlalu percaya diri memutuskan tanpa dialog.


Tentang edaran bupati menanam cabai — ia terdengar manis, bahkan seperti solusi murah meriah. Tetapi mari jujur: cabai bukan tumbuh dari kata-kata, melainkan dari benih, pupuk, tanah subur, dan tenaga. Jika modal itu tidak hadir, edaran hanyalah wacana yang berubah menjadi beban. Namun, bila pemerintah berani menurunkannya menjadi program nyata — membagikan bibit, menyediakan pupuk, melatih cara merawat — maka edaran cabai bisa berubah wajah: dari himbauan kosong menjadi gerakan kebajikan.


Tentang pembongkaran warung-warung kecil di Budi Utomo Mutiara — alasan pelebaran jalan dua jalur memang terdengar modern. Tetapi, mengapa yang pertama kali harus berkorban adalah mereka yang paling lemah? Warung itu bukan sekadar papan kayu dan atap seng—itu dapur, itu sekolah, itu biaya berobat. Menggusur tanpa solusi sama dengan menendang tulang punggung keluarga. Bukankah ada cara yang lebih adil? Menyediakan lokasi pengganti, memberi kompensasi wajar, atau setidaknya menyediakan masa transisi yang layak? Jika jalan diperlebar tapi perut rakyat dikempiskan, untuk siapa sebenarnya jalan itu dibuka?


Dan tentang jalan-jalan lain yang tetap terbengkalai — lubang yang menganga, debu yang beterbangan, aspal yang tak kunjung datang — bukankah itu luka yang dibiarkan? Anehnya, energi pembangunan justru diarahkan untuk membuka jalur baru, seolah meninggalkan luka lama yang tak sembuh-sembuh. Tidakkah ini seperti membangun rumah baru, sementara rumah lama masih bocor dan reyot?


Semua potongan ironi itu akhirnya berujung pada satu titik: roh pembangunan. Jika pembangunan kehilangan rohnya, ia akan menjelma jadi monster: indah di baliho, tetapi kejam di lapangan. Rakyat tidak menolak perubahan, mereka hanya menuntut keadilan. Mereka ingin hadir dalam meja perencanaan, bukan sekadar jadi korban keputusan.


Karena pembangunan sejati bukan soal berapa panjang jalan yang dibuka, tetapi seberapa luas keadilan dibagi. Bukan soal berapa warung yang diruntuhkan, tetapi berapa keluarga yang tetap bisa hidup bermartabat. Bukan sekadar berapa edaran cabai disebar, tetapi berapa rumah yang benar-benar bisa memetik hasilnya.


Pada akhirnya,

Rakyat hanya ingin satu jawaban sederhana:


Apakah pembangunan ini sungguh-sungguh untuk mereka — atau hanya untuk mereka yang berkuasa menafsirkan kata “pembangunan?”


0Komentar

© Copyright - YOUTHMA ALL QAUSHA ARUAN
Berhasil Ditambahkan

Type above and press Enter to search.